Minggu, 18 September 2016

Diskursus : Gratifikasi ( I )


A. Aspek Yuridis Gratifikasi


Pasal 5 UU Tipikor
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 12 UU Tipikor
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a.   pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b.   pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara” disebutkan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yaitu:
1.  Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2.  Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3.  Menteri;
4.  Gubernur;
5.  Hakim;
6.  Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Terminologi Gratifikasi baru dikenal dalam ranah hukum pidana Indonesia sejak tahun 2001 melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada Pasal 12B dan 12C Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut diatur mengenai delik gratifikasi mengatur ancaman pidana bagi setiap pegawai negeri/penyelenggara negara yang menerima segala bentuk pemberian yang tidak sah dalam pelaksanaan tugasnya, atau yang diistilahkan sebagai gratifikasi yang dianggap suap dan tidak melaporkannya pada KPK dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja.

Namun sesungguhnya, aturan yang melarang penerimaan dalam bentuk apapun telah ada jauh sebelum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diterbitkan. Larangan tersebut secara terperinci telah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1992 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1974 tentang Beberapa Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri Dalam Rangka Pendayagunaan Aparatur Negara dan Kesederhanaan Hidup, khususnya Pasal 7 dan 8.
Pada saat gratifikasi dirumuskan melalui revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK belum ada. Barulah kemudian di Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuklah KPK dan untuk semakin memperjelas kelembagaan penanganan laporan gratifikasi, dibentuklah direktorat khusus yang menangani penegakan pasal gratifikasi. Pada Pasal 26 juncto Pasal 13 UU KPK dibentuk Subbidang Gratifikasi yang berada pada Deputi Pencegahan.
B. Aspek Sosiologis Gratifikasi
Praktik memberi dan menerima hadiah sesungguhnya merupakan hal yang wajar dan hidup dalam hubungan kemasyarakatan. Praktik tersebut dilakukan mulai dari peristiwa alamiah seperti kelahiran, sakit, dan kematian; penyelenggaraan atau perayaan dalam momentum tertentu seperti aqiqah, potong gigi, sunatan, ulang tahun, perkawinan, hingga acara duka. Dalam konteks adat- istiadat, praktik pemberian bahkan lebih bervariasi. Apalagi Indonesia hidup dengan keberagaman suku bangsa dengan segala adat-istiadatnya. Dalam banyak suku bangsa tersebut tentu saja juga terdapat keberagaman praktik memberi dan menerima hadiah dengan segala latar belakang sosial dan sejarahnya.
Syed Hussein Alatas memotret pemberian hadiah tersebut dalam bukunya Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi (Jakarta, LP3ES; 1987). Menurutnya, praktik pemberian hadiah tidak serta merta dapat dipandang sebagai faktor penyebab korupsi. Hal seperti itu telah hidup cukup lama tidak saja di Indonesia dan negara-negara Asia namun juga negara-negara barat. Akan tetapi, praktik yang bersumber dari pranata tradisional tersebut kemudian ditunggangi kepentingan diluar aspek hubungan emosional pribadi dan sosial kemasyarakatan.
Thamrin Amal Tamagola (2009) juga memandang hadiah sebagai sesuatu yang tidak saja lumrah dalam setiap masyarakat, tetapi juga berperan sangat penting sebagai ‘kohesi sosial’ dalam suatu masyarakat maupun antar-masyarakat/marga/puak bahkan antar bangsa. Senada dengan itu, Kastorius Sinaga (2009) memberikan perspektif sosiologis mengenai gratifikasi yang mengungkapkan bahwa konsepsi gratifikasi bersifat luas dan elementer di dalam kehidupan kemasyarakatan. Jika memberi dan menerima hadiah ditempatkan dalam konteks hubungan sosial maka praktek tersebut bersifat netral. Akan tetapi, jika terdapat hubungan kekuasaan, makna gratifikasi menjadi tidak netral lagi.
Dalam buku yang lain, Sosiologi Korupsi; Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, SH Alatas menulis:

“Hal menarik yang diperbuat di sini adalah perbedaan antara kesewenang-wenangan dan praktek yang layak dari pranata tradisional pemberian hadiah. Bila pembedaan ini sudah diperbuat, tidak sulit membayangkan bagaimana korupsi menjalar. Akan tetapi, kita harus mengkaji makna kebiasaan pemberian sebagai suatu sumber kesewenang-wenangan dalam jaringan kausal korupsi, mengingat fakta bahwa praktek-praktek lain yang disetujui oleh masyarakat telah dijangkiti oleh korupsi” (Alatas, 1983: 56).

Lebih jauh, Alatas membagi 7 tipologi korupsi, yaitu: korupsi transaktif, korupsi yang memeras, korupsi invensif, korupsi perkerabatan, korupsi defensif, korupsi otogenik, dan korupsi dukungan. Terkait dengan praktik pemberian hadiah dalam relasi kuasa seperti dijelaskan di atas, tipologi korupsi invensif merupakan bentuk yang menunjukkan adanya hubungan antara pemberian dengan kekuasaan yang dimiliki penerima. Dijelaskan, korupsi invensif adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang akan diperoleh di masa akan datang.
Poin penting yang dapat dipahami dari pandangan sejumlah ahli di atas adalah, bahwa memang praktik penerimaan hadiah merupakan sesuatu yang wajar dari sudut pandang relasi pribadi, sosial dan adat-istiadat, akan tetapi, ketika hal tersebut dijangkiti kepentingan lain dalam relasi kuasa maka cara pandang gratifikasi adalah netral tidak bisa dipertahankan. Hal itulah yang disebut dalam Pasal 12B sebagai gratifikasi yang dianggap suap, yaitu gratifikasi yang terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugas penerima. Dalam konteks Pasal 12B ini, tujuan dari gratifikasi yang dianggap suap dari sudut pandang pemberi adalah untuk mengharapkan keuntungan di masa yang akan datang dengan mengharapkan pegawai negeri/penyelenggara negara akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewenangannya, demi kepentingan si pemberi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar