Rabu, 01 Maret 2017

Pandangan Fraksi-fraksi MPR tentang Perubahan GBHN


Senin 27 Feb 2017, 18:00 WIB
Niken Widya Yunita - detikNews



Jakarta - Fraksi-fraksi di MPR menyepakati pentingnya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Namun bentuk hukum perubahan GBHN masih menjadi perdebatan. 

Menurut Ketua Badan Pengkajian MPR Bambang Sadono, Fraksi PDI Perjuangan, PAN, PKB, NasDem, dan kelompok DPD berpendapat bahwa bentuk hukum untuk Haluan Negara adalah ketetapan MPR (Tap MPR). Sedangkan Fraksi Demokrat berpendapat bentuk Haluan Negara adalah undang-undang, yaitu dengan menyempurnakan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

Sedangkan Fraksi Partai Golkar berpendapat akan mempertimbangkan apakah dalam bentuk UU atau Tap MPR. Jika dalam bentuk UU, bagaimana efektivitasnya dan, apabila dengan Tap MPR, bagaimana konsekuensi hukumnya, mengingat MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara dan tidak lagi memiliki wewenang menetapkan GBHN.

Sementara itu, Fraksi Partai Gerindra berpendapat, sebelum menghidupkan kembali GBHN dalam konstitusi, beberapa hal yang perlu dilakukan adalah merevisi UU Nomor 25 Tahun 2004 dan UU Nomor 17 Tahun 2007 serta merevisi UU Nomor 12 Tahun 2011. Jika undang-undang tersebut sudah direvisi, MPR harus memperbaiki Tap MPR Nomor 7 Tahun 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan atau membuat Tap MPR baru sesuai yang dimaksud GBHN.

Fraksi PKS berpendapat, apabila diperlukan payung hukum berupa UU dan apabila dalam bentuk UU dianggap rentan terkena judicial review, dapat dipertimbangkan menjadi usulan perubahan UUD NKRI Tahun 1945. Fraksi Partai Hanura berpendapat, merealisasi Haluan Negara memerlukan inisiatif keputusan politik sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 37 ayat 1 UUD RI Tahun 1945 dengan mencermati proses tahapan, waktu, dan momentum yang tepat dan pertimbangan konsekuensi politik lainnya.

"Sehubungan dengan konsekuensi hukum akibat adanya GBHN, Fraksi PDIP, NasDem, PAN, dan PKS berpendapat tidak perlu ada konsekuensi hukum. Fraksi lain dan kelompok DPD belum menyatakan pendapat," ujar Bambang dalam diskusi Empat Pilar MPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/2/2017).

Menurut Bambang, apabila dengan adanya GBHN ditempuh melalui amendemen UUD 1945 kembali, pendapat yang berkembang sehubungan dengan materi perubahan adalah Fraksi PDIP, PAN, PPP, dan NasDem berpendapat perubahan harus dilakukan terbatas untuk GBHN. 

Sedangkan Fraksi Golkar, PKS, dan PPP berpendapat, apabila dilakukan perubahan UUD tidak menyebut batasan materi secara khusus, Golkar dan PKS mensyaratkan mengikuti prosedur di Pasal 37. Fraksi Gerindra berpendapat, jika dilakukan amendemen UUD RI Tahun 1945, hal itu dilakukan dengan cara holistik dan komprehensif. Kelompok DPD berpendapat agenda perubahan tidak hanya soal GBHN, tapi penguatan kewenangan MPR dan DPD.

Sementara itu, Prof Satya Arinanto mengungkapkan, persoalan munculnya GBHN melalui amendemen UUD RI Tahun 1945 harus muncul atau perlu adanya dorongan secara politik. 

"Contoh amendemen UUD 1945 pertama kali karena adanya dorongan politik yang sangat kuat untuk melakukan perubahan secara menyeluruh. Tapi ada opsi lagi untuk memunculkan GBHN, yakni dilakukan di luar konstitusi," katanya seperti dalam keterangan tertulis dari MPR.

Rapat gabungan pimpinan MPR pada 25 Januari 2017 menyepakati pentingnya haluan negara di Indonesia. Rapat gabungan dipimpin oleh Ketua MPR Zulkifli Hasan didampingi Wakil Ketua MPR EE Mangindaan dan Hidayat Nur Wahid. 

(nwy/mpr)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar